Bayi dan anak sebaiknya jangan dipaksa makan karena membuat tidak nyaman. Biarkan mereka lapar dan akhirnya meminta makanan. Jangan juga memberi susu atau camilan sebagai pengganti makan.
Demikian dikatakan dokter spesialis anak pengajar Fakultas Kedokteran UGM, Mei Neni Sitaresmi, pada seminar "Peran Pola Asuh Tumbuh Kembang dan Aktivasi Otak Tengah dalam Mengoptimalkan Kecerdasan Anak" di Kantor Badan Perencanaan dan Pembangunan Daerah (Bappeda) Sleman, Kamis (24/6/2010) lalu.
Menurut Neni, memaksa anak makan lebih banyak sisi kerugiannya. Lebih baik menunggu empat jam—sesuai durasi lapar bayi dan anak—sehingga rasa lapar membuat mereka meminta makanan.
"Jika 20 sampai 30 menit bayi atau anak-anak tetap tak mau makan, jangan dipaksa. Selain mungkin sedang tak mau makan, durasi 20 sampai 30 menit menjadikan makanan dingin dan itu semakin tak diminati. Tunggu empat jam, lalu suapi lagi, tapi dengan makanan berbeda," kata Neni.
Camilan dan susu sebaiknya juga dihindari sebagai pengganti makanan. Camilan biasanya tak bergizi, sedangkan susu bisa membuat kegemukan.
Saat menyuapi, bayi dan anak mesti diupayakan santai dan tidak sambil bermain. "Ini penting agar bayi tidak asal menelan makanan, tapi menikmati suapan per suapan," ujar Neni, pada acara yang digagas Badan Keluarga Berencana Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Sleman.
Direktur Anak Jenius Indonesia (AJI) Arinto Agus yang juga pembicara mengatakan, salah satu paradigma dasar yang keliru adalah kesuksesan dilihat dari nilai IQ (intelligence quotient). Padahal, sisi emotional quotient (EQ) atau kecerdasan emosional sama pentingnya. EQ terwujud, antara lain, dari aspek yang berhubungan dengan kreativitas, imajinasi, sosialisasi, dan kepribadian.
PRA-kompas
Demikian dikatakan dokter spesialis anak pengajar Fakultas Kedokteran UGM, Mei Neni Sitaresmi, pada seminar "Peran Pola Asuh Tumbuh Kembang dan Aktivasi Otak Tengah dalam Mengoptimalkan Kecerdasan Anak" di Kantor Badan Perencanaan dan Pembangunan Daerah (Bappeda) Sleman, Kamis (24/6/2010) lalu.
Menurut Neni, memaksa anak makan lebih banyak sisi kerugiannya. Lebih baik menunggu empat jam—sesuai durasi lapar bayi dan anak—sehingga rasa lapar membuat mereka meminta makanan.
"Jika 20 sampai 30 menit bayi atau anak-anak tetap tak mau makan, jangan dipaksa. Selain mungkin sedang tak mau makan, durasi 20 sampai 30 menit menjadikan makanan dingin dan itu semakin tak diminati. Tunggu empat jam, lalu suapi lagi, tapi dengan makanan berbeda," kata Neni.
Camilan dan susu sebaiknya juga dihindari sebagai pengganti makanan. Camilan biasanya tak bergizi, sedangkan susu bisa membuat kegemukan.
Saat menyuapi, bayi dan anak mesti diupayakan santai dan tidak sambil bermain. "Ini penting agar bayi tidak asal menelan makanan, tapi menikmati suapan per suapan," ujar Neni, pada acara yang digagas Badan Keluarga Berencana Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Sleman.
Direktur Anak Jenius Indonesia (AJI) Arinto Agus yang juga pembicara mengatakan, salah satu paradigma dasar yang keliru adalah kesuksesan dilihat dari nilai IQ (intelligence quotient). Padahal, sisi emotional quotient (EQ) atau kecerdasan emosional sama pentingnya. EQ terwujud, antara lain, dari aspek yang berhubungan dengan kreativitas, imajinasi, sosialisasi, dan kepribadian.
PRA-kompas
Tidak ada komentar:
Posting Komentar